Operasi Bedah Jantung di masa Pandemi Covid 19

YJI - 21 Jan 2021

Dr. Gusti Reza Ferdiansyah Sp.BTKV, FIHA
Dokter Spesialis Bedah Jantung RS Jantung Jakarta
Darjo Sutedja, Ns. S.Kep
Pengembang Diklat RS Jantung Jakarta

Di masa pandemi ini penderita penyakit jantung merupakan salah satu golongan yang paling rentan terpapar virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sempat menyebutkan lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Penyakit jantung yang paling umum terjadi adalah penyakit jantung koroner. Sekitar 31 persen dari seluruh kematian di dunia, atau sekitar 8,7 juta disebabkan oleh penyakit jantung koroner. 
 
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pun mencatat sebesar 1,5 persen atau 15 dari 1.000 penduduk Indonesia menderita penyakit jantung koroner. Biasanya, kasus jantung koroner dialami mulai dari usia produktif yaitu termuda 31 tahun hingga 85 tahun. 

Selama pandemi penyakit COVID-19 ini, di unia internasional banyak menunda semua operasi elektif. Operasi jantung membawa risiko gabungan untuk pasien jantung, yang berisiko mengalami komplikasi COVID-19 yang lebih tinggi, dan petugas layanan kesehatan.

CABG (coronary artery bypass graft)  adalah sebuah prosedur tindakan bedah dengan membuat pembuluh darah baru atau biasa disebut bypass pada penyakit jantung koroner. Pembuluh darah baru tersebut nantinya akan menggantikan pembuluh darah jantung yang menyempit dengan menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh lain, seperti arteri di dada, lengan, dan pembuluh vena dari kaki. Tindakan CABG dapat dilakukan dengan menggunakan dua teknik, yaitu dengan menggunakan mesin jantung paru (on pump) atau tanpa menggunakan mesin jantung paru (off pump)

Patofisiologi

Sejak munculnya COVID-19 di Wuhan, Cina, virus ini telah menyebar dengan cepat, menjadi keadaan darurat kesehatan dunia. Virus corona menyebabkan sindrom pernafasan akut yang parah dan telah menginfeksi lebih dari sepuluh kali jumlah pasien SARS . Mekanisme virus corona menginfeksi jaringan manusia adalah melalui perlekatan protein virus dan reseptor enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2). Pengikatan virus ke reseptor ini sepuluh kali lebih kuat daripada virus SARS lainnya. Selain itu, analisis genom dari novel coronavirus telah mengungkapkan bahwa perlekatan difasilitasi oleh enzim sel inang yang disebut Furin . Furin, sebagai tempat aktivasi, ditemukan di berbagai jaringan manusia, termasuk paru-paru, jantung, hati, dan usus kecil, yang menjelaskan kegagalan multi-organ yang terkait dengan COVID-19

Penularan virus

Penularan dari manusia ke manusia telah terbukti, dan angka reproduksinya (R0; jumlah kasus sekunder yang diharapkan pada populasi yang benar-benar rentan) diperkirakan sekitar 2,2 (95% CI, 1,4–3,9), yang menunjukkan penularan tinggi. Pemahaman yang jelas tentang dampak penyakit ini dan interaksinya dengan operasi jantung akan membantu ahli bedah jantung dan ahli anestesi beserta seluruh tim bedah jantung untuk mengambil keputusan yang tepat apakah akan melanjutkan atau menunda operasi jantung elektif selama pandemi COVID-19 saat ini.

Infeksi COVID-19 pada pasien jantung

Sebuah studi kohort retrospektif dari 201 pasien dengan COVID-19 yang dikonfirmasi menunjukkan bahwa 31,2% menderita hipertensi, 10,1% menderita diabetes mellitus (keduanya merupakan komorbiditas umum pada pasien jantung), dan 14,5% memiliki penyakit kardiovaskular (CVD) . Selain itu, pasien dengan komorbid CVD berisiko  mengalami pneumonia yang parah, yang memerlukan masuk ke unit perawatan intensif (ICU) dan meningkatkan mortalitas yang dikaitkan dengan peningkatan ekspresi ACE2 dari penggunaan penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merupakan andalan pengobatan pasien jantung.

Namun, tidak ada pedoman yang merekomendasikan penghentian obat ini pada pasien jantung yang berisiko atau didiagnosis dengan infeksi COVID-19 sampai uji klinis lebih lanjut mengkonfirmasi efek obat ini pada infeksi COVID-19 . Zheng et al. menyimpulkan bahwa pasien COVID-19 dengan komorbid CVD memiliki prognosis yang merugikan karena infark miokard akut dan kerusakan kronis pada sistem kardiovaskular. Hal ini harus membuat petugas kesehatan benar-benar mematuhi semua prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi untuk menyelamatkan pasien

Lama tinggal di rumah sakit (length of stay /LOS) dan risiko infeksi nosokomial

Lama tinggal di rumah sakit (LOS) 53?ri 496.797 prosedur CABG adalah 5 hari, menurut sebuah studi oleh Peterson et al. . Wang et al. mencurigai penularan nosokomial pada 41% pasien dengan COVID-19 Rumah Sakit Zhongnan dari Universitas Wuhan di Wuhan, Cina .

Kasus penularan nosokomial dari MERS COV dari satu pasien ke pasien lain pernah dilaporkan di rumah sakit di Prancis utara pada 2013 .Masalah lain yang harus dipertimbangkan adalah pasien carrier yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi menular ke orang lain .

Mengingat hal tersebut di atas, pasien jantung berisiko lebih tinggi menderita COVID-19 dalam fase perioperatif terutama jika dirawat di rumah sakit dengan penularan yang tidak terkontrol. Namun, protokol kesehatan dan kebijakan 3M ( mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak) telah terbukti dapat mencegah penularan COVID-19 . Selain itu, perawatan di unit non-COVID yang terpisah (isolasi atau kohorting)  dengan pemantauan ketat gejala kloinis dan tenaga kesehatan yang selalu memakai alat pelindung diri (APD) dan penerapan kebersihan tangan untuk setiap orang, saat kontak pasien, akan jauh lebih aman daripada berada di komunitas umum dengan jumlah carrier dan OTG (orang tanpa gejala) yang tidak bisa dipastikan jumlahnya.

Skrining pra operasi

Sebuah studi kohort retrospektif dari 34 pasien yang menjalani operasi elektif selama masa inkubasi COVID-19 menunjukkan risiko yang lebih tinggi untuk masuk ICU (44,1%) dan kematian (20,5%). Studi kohort internasional lainnya mengungkapkan bahwa COVID-19 perioperatif (7 hari pra dan 30 hari pasca operasi) berkaitan dengan mortalitas yang tinggi.

Oleh karena itu, skrining pra operasi harus membantu mendiagnosis pasien carrier, keluarga,  dan pasien COVID-19. Namun, diagnosis COVID-19 cukup rumit karena korelasi yang tidak konsisten antara temuan laboratorium, temuan radiologis, dan gambaran klinis serta riwayat kontak pasien. Metode RT-PCR (Reverse transcriptase polymerase chain reaction) dan metode serologis (enzyme-linked immunoassay) banyak digunakan untuk mendiagnosis COVID-19. Namun adanya masa inkubasi, window period, pengambilan sampel yang salah, kontaminasi silang sampel, dan ketidak-konsistenan pengumpulan dan persiapan sampel merupakan kendala yang cukup besar, yang dapat menyebabkan hasil negatif palsu. Selain itu, skrining massal terhadap pasien yang dicurigai menderita jantung dan tenaga kesehatan merupakan beban ekonomi di negara berkembang. Kelemahan tersebut dapat menyebabkan masuknya pasien jantung dengan COVID-19 dalam periode perioperatif, yang membahayakan baik pasien maupun tenaga kesehatan.

Stress perioperatif

Perspektif lain adalah hubungan antara stress, kecemasan dan disregulasi sistem kekebalan, yang telah dibuktikan sejak istilah psikoneuroimunologi muncul pada tahun 1970-an . Banyak penelitian yang telah diringkas dalam artikel oleh Coughlin menunjukkan hubungan penting antara gangguan kecemasan dan kerentanan terhadap infeksi virus pada pasien dengan diagnosis kecemasan  . Oleh karena itu, tim bedah jantung harus memahami risiko tambahan ini untuk membuat keputusan klinis tentang penundaan atau melanjutkan operasi jantung

Pengaruh mesin CPB / bypass kardiopulmoner

Operasi jantung melibatkan sistem yang unik dan berbeda dengan operasi elektif lainnya, yaitu penggunaan bypass kardiopulmoner (CPB). Paparan darah ke permukaan non-endotel selama CPB berjalan memicu respons inflamasi dengan aktivasi jalur koagulasi, sistem komplemen, dan meningkatkan tingkat faktor nekrosis tumor ? (TNF-?) serta interleukin 10 (IL-10) .

Penyebab utama kematian pada pasien COVID-19 adalah sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). Semakin banyak bukti yang mengaitkan penyebab ARDS pada COVID-19 dengan sindrom badai sitokin, terutama sitokin proinflamasi tingkat tinggi (TNF-? dan IL-10) yang diukur pada pasien dengan COVID-19 dan hal ini juga berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit. Oleh karena itu, jelas bahwa penggunaan CBP dalam operasi jantung on-pump memiliki efek merusak pada pasien dengan risiko tinggi infeksi COVID-19, terutama jika mereka adalah silent carrier. Pendekatan alternatif untuk operasi jantung yang menghindari penggunaan CPB, seperti prosedur tanpa pompa (off pump/ OPCAB) dan prosedur berbasis kateterisasi (cathlab base), mungkin cocok untuk pasien ini. Selain itu, penggunaan filter sitokin dan cell saver dengan memproses darah melalui sirkulasi ekstrakorporeal invasif minimal secara signifikan dapat menurunkan respons inflamasi.

Terjadinya disfungsi paru setelah CPB pun tidak jarang terjadi. Ini dapat berkisar dari penurunan oksigenasi arteri sementara dan secara klinis tidak signifikan hingga cedera yang mengancam jiwa yang dimanifestasikan sebagai ARDS. Gambaran klinis COVID-19 terbanyak adalah demam pada 83% -  98% pasien, batuk kering pada 76% -82%, dan infiltrat paru. Ini mungkin membingungkan dengan komplikasi paru setelah CPB pada operasi jantung. Analisis retrospektif dari 34 pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif selama masa inkubasi menunjukkan bahwa pada beberapa pasien mengalami pneumonia setelah operasi, dengan tingkat kematian 20,5%.Ini membutuhkan perhatian untuk memperluas pengujian pra operasi dan tindak lanjut pasca operasi.

Dampak penundaan operasi jantung

Berdasarkan studi observasional PubMed yang melaporkan komplikasi pasien selama menunggu jadwal CABG atau intervensi koroner perkutan (PCI) mengungkapkan bahwa kematian, infark miokard non-fatal, dan revaskularisasi mendesak lebih tinggi pada pasien dengan angina berat dan disfungsi ventrikel kiri . Di antara kematian jantung pada pasien dengan stenosis aorta berat, dapat terjadi kematian mendadak sebagai penyebab kematian jantung kedua. Jenis operasi juga harus dipertimbangkan untuk menentukan tingkat prioritas intervensi jantung yang direncanakan. Analisis kohort prospektif dari angka kematian sambil menunggu operasi jantung mengungkapkan bahwa pasien yang menunggu operasi katup memiliki risiko kematian yang lebih tinggi daripada pasien yang menunggu jadwal CABG

Risiko bagi tim jantung

Lalu lintas di ruang operasi selama operasi jantung menjadi perhatian utama. Operasi jantung membutuhkan ahli bedah jantung, ahli anestesi dengan asisten, perawat, dan dokter perfusi. Tingkat lalu lintas ini merupakan faktor risiko untuk infeksi luka operasi dan kesalahan manusia . Selain itu, prosedur operasi yang tidak aman akan meningkatkan jumlah dokter dan perawat yang terpapar dan memperluas penularan COVID-19 jika dokter, perawat  atau pasien adalah carrier / OTG. Di antara total 44.672 kasus dikonfirmasi yang tercatat di Cina, 1716 (3,8%) adalah tenaga kesehatan [. Oleh karena itu, terdapat tanggung jawab ganda terhadap pasien dan tenaga kesehatan. Namun, studi klinis multicenter retrospektif yang terdiri dari 37 pasien (5 dikonfirmasi dan 32 terduga COVID-19) dijadwalkan untuk prosedur darurat, termasuk prosedur jantung, menunjukkan bahwa kepatuhan yang ketat terhadap pedoman pengendalian infeksi dapat secara efektif mengurangi infeksi silang di ruang operasi . Sebuah laporan kasus dari 41 tenaga kesehatan yang melakukan kontak langsung dengan pasien COVID-19 yang dikonfirmasi dan telah terpapar prosedur yang menghasilkan aerosol menunjukkan bahwa tidak ada dari mereka yang tertular  infeksi COVID-19 . Hal ini menegaskan betapa efektifnya penggunaan APD bagi petugas kesehatan yang merawat pasien yang terinfeksi COVID-19. Oleh karena itu, langkah-langkah ini harus diterapkan lebih baik dan disiplin dalam operasi jantung elektif untuk memastikan keamanan tenaga kesehatan. Kesimpulan

Operasi jantung pada era COVID-19 memiliki risiko gabungan untuk pasien jantung yang berisiko lebih besar terkena komplikasi COVID-19, dan petugas layanan kesehatan yang berisiko lebih tinggi terkena infeksi. Keputusan untuk menunda atau melanjutkan operasi jantung elektif harus dibuat setelah menimbang risiko penularan infeksi ke pasien yang beririko tinggi dengan memikirkan kemungkinan morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan oleh penundaan operasi.

Menjalankan 3M (menjaga jarak, mencuci tangan, mengenakan masker) , 3T ( testing, tracing, treatment) dan menghindari 3 K (kontak erat, kerumunan, kamar tertutup) menjadi faktor faktor penting dalam pengambilan keputusan yang bijaksana sebagai bagian dari tanggung jawab sistem pemberian layanan kesehatan di setiap rumah sakit untuk menjaga dan untuk melindungi pasien jantung dan seluruh tenaga  kesehatan. Dengan pola kebijakan diatas dan pembuatan SOP pemakaian APD , standar penggunaan APD , SOP persiapan tindakan elektif operasi dan kateterisasi, serta SOP persiapan tindakan CITO operasi dan kateterisasi , Rumah Sakit Jantung Jakarta pada tahun 2020 sejak Januari hingga Desember telah melakukan tidak kurang dari 457 operasi bedah jantung dewasa dan anak (open heart surgery) serta 4.170 kateterisasi (cath lab procedure) dengan hasil baik.

Dengan menerapkan kebijakan dan protokol kesehatan secara konsisten serta dengan ditemukannya vaksin dalam waktu dekat kita berharap semoga pandemi ini segera berakhir dan pelayanan kesehatan di Indonesia kembali berjalan normal bahkan lebih baik lagi.